Tuesday, March 27, 2012

FEATURE - Jelimet oh Jelimet!


Di Negeri jelimet :  PERATURAN? DI TEBAS SAJA! = ANARKISME
Jelimet oh jelimet. Negeri ini terkesan jelimet. Bagaimana tidak? coba kita pertajam penglihatan kita sekali lagi. Hukum di negeri ini…bagaimana hukum di negeri ini? harganya sangat murah, OBRAL! Begitu kata para pedagang. Lha wong sekarang penjara saja dihuninya oleh para tikus berduit yang mampu membungkam hukum dengan uang bukan oleh kriminal-kriminal seperti yang seharusnya. Lalu bisa diambil kesimpulan : uang bisa membeli hukum, hukum harganya murah. Hukum saja yang terkesan sulit dipatahkan bisa sujud sungkem ketika dihadapkan oleh uang. Apalagi yang lainnya?
Yang paling baru di negeri ini adalah peraturan. Peraturan harganya bisa lebih murah lagi  disini. Banyak orang yang menyelewengkan artinya, peraturan kan  dibuat untuk dilanggar!  lho kok? Maka dari itu jika semua persoalan diatas terus berkembang menjadi paham yang dianut masayarakat kita bisa gawat. Jelimet contoh diatas adalah bukti bahwa jelimet memang nama lain tanah air kita tercinta sekarang, ya semua keteraturan di negeri ini jelimet.
Jangan dulu mengerutkan dahi dengan kesimpulan apa ini hubungannya antara jelimet, hukum, dan peraturan? Justru itu banyak kecacatan dan carut marut yang terkait dengan pembobolan hukum dan peraturan disini. Cacat tersebut mebghasilkan sebuah formula : HUKUM? SOGOK PAKAI  DUIT = PERATURAN TERHIMPIT, PERATURAN? DI TEBAS SAJA! = ANARKISME. Anarkisme bisa dibilang menjadi buah manis dari formula jelimet diatas.
Mengapa? Mari kita cek ke lapangan, dan mengambil contoh dari Fasilitas-fasilitas yang disediakan negara. Contoh yang lebih disorot kali ini adalah stasiun kereta api sebagai fasilitas krusial negeri ini, trasportasi. Banyak orang yang lebih memilih kereta api, apalagi kereta api jenis ekonomi. Karena harganya yang lebih bersahabat seperti kawan lama dibandingkan tranportasi lainnya.  Tapi mana ada sih disini yang bilang ekonomi mbak? Wah fasilitasnya enak banget, tertib, nyaman, bersih, ah pokoknya ajaib deh.
Bisa jadi kata-kata itu muncul, muncul melalui angan-angan kita. Wajah kita misut-misut dan mengerut mengingat bagaimana perasaaan yang kita dapatkan saat melakukan perjalanan memakai kereta ini. Banyak ego dan kenyamanan yang harus kita korbankan disana: bau-bauan tidak sedap, sampah, apalagi jika kita kebelet harus mampu kita tahan sampai nyawa terasa di ujung tanduk, bisa disebut paket lengkap.
Pernah terpikir kok bisa ya? Kok bisa fasilitas yang begitu penting dan harusnya karena penting tadi menjadi sorotan, malah hancur berantakan. Kemana kepedulian atasan-atasan di negeri kita alias pemerintah. Pemerintah bisa melihat sebuah lahan baru dari kereta ekonomi ini karena kereta ini paling banyak diminati. Apalagi jika dilihat dari segi keuntungan saat tiba waktu pulang kampung. Ribuan manusia yang antre karcis kereta seperti antre emas yang dibagikan cuma-cuma.
Melihat antusiasme masyarakat terhadap kereta ekonomi ini membuat kita berpikir pasti mereka sudah menganggapnya sebagai sahabat paling dekat. Mana mungkin menyakitinya apalagi merusaknya? Namun di negeri jelimet ini apa sih yang tidak bisa terjadi (dalam arti konotatif)? Yang terjadi justru sebaliknya, karena penumpang yang terlalu membludak mereka tercecer kemana-mana, tidak peduli kereta akan  overload  karena kelebihan penumpang. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan atau bahkan kecelakaan.
Menurut peraturan yang tertera kan dilarang duduk di atas atap kereta api. Karena ya terima saja akibatnya. Tapi kok ini ada yang dengan leluasa leyeh-leyeh disana, menikmati pemandangan langit. Sebut saja manusia ajaib ini si X, siswa sebuah sekolah menegah atas di kota besar yang setiap harinya selalu berangkat  sekolah menggunakan kereta. Ia mengaku sekolahnya cukup jauh bila ditempuh angkutan kota.
“Kenapa diatas? Ya enak aja, saya kan bisa lihat langit yang cerah. Lagian sumpek di dalem.”
Bukan karena apa-apa peraturan itu dibuat dan dicamkan dengan ketat, tapi karena akibatnya itu loh FATAL. Nyawa bisa jadi tumbalnya nanti.
“Kenapa sih ga boleh? Lha liat aja didalem mana bisa duduk? Udah sumpek bau lagi, ah mampus! Fasilitasnya itu lho kacrut. Bikin ga betah. Ya kalo fasilitasnya baik kita juga yang numpang bakal berlaku baik kok mbak buat minimalnya.” Komentarnya lagi berapi-api dan terdengar sedikit masuk akal.
Lagi-lagi fasilitas. Fasilitasnya memang kita akui sangat buruk dan belum memadai. Apakah hal ini yang justru membuat perangai penumpang menjadi beringas? Atau jadi pemicu keapatisan mereka terhadap peraturan dan ujung-ujungnya menimbulkan anarkisme berkepanjangan sampai sekarang?
Kita ambil satu kejadian di bulan mei tahun lalu. Petugas stasiun  berusaha menertibkan para penumpang atap di kereta api jurusan Bogor-Kota nomor 58 yang tengah menaikan  penumpang. Tetapi di luar dugaan si penumpang atap yang tidak suka ditertibkan malah melempari para petugas penertiban.
Menurut Mateta Rizalulhaq HUMAS PT KAI, petugas sedang memasang cairan penyemprot untuk merubuhkan mental para penumpang tangkringan atap yang jumlahnya puluhan  ini agar kapok, tiba-tiba mereka merasa tidak terima dan melakukan kasi pelemparan batu.
Akibatnya kaca-kaca kantor PAP PT KAI dan Kantor bendahara di stasin Manggarai pecah. Masih untung tidak menimbulkan korban jiwa.
Ngeri. Ternyata anarkisme ini memang menjadi senjata mereka karena takut kehilangan tumpangan. Hal ini diperjelas oleh fakta kurangnya unit atau gerbong keret api di Indonesia yang memadai untuk mengangkut penumpang yang mebludak.  Jika sudah begini siapa yang patut ditunjuk atau dibebani kesalahan? Fasilitaskah? Dana fasilitas yang mengalir entah kemana karena rasa tamak, tapi tidak ada hukum yang  bertindak karena sama-sama dibungkam dan dikenyangkan oleh uang? Atau si anarkis-anarkis ini yang selalu menyelewengkan peraturan? Siapa?
Jelimet oh jelimet!
sumber gambar : www.google.com/www.valensprana.blogspot.com

No comments:

Post a Comment