Di Negeri jelimet : PERATURAN? DI TEBAS SAJA! = ANARKISME
Jelimet oh jelimet. Negeri
ini terkesan jelimet. Bagaimana tidak? coba kita pertajam penglihatan kita
sekali lagi. Hukum di negeri ini…bagaimana hukum di negeri ini? harganya sangat
murah, OBRAL! Begitu kata para pedagang. Lha wong sekarang penjara saja
dihuninya oleh para tikus berduit yang mampu membungkam hukum dengan uang bukan
oleh kriminal-kriminal seperti yang seharusnya. Lalu bisa diambil kesimpulan :
uang bisa membeli hukum, hukum harganya murah.
Hukum saja yang terkesan sulit dipatahkan bisa sujud sungkem ketika dihadapkan oleh uang. Apalagi yang lainnya?
Yang paling baru di negeri
ini adalah peraturan. Peraturan harganya bisa lebih murah lagi disini. Banyak orang yang menyelewengkan artinya,
peraturan kan dibuat untuk dilanggar! lho kok? Maka dari itu jika semua persoalan
diatas terus berkembang menjadi paham yang dianut masayarakat kita bisa gawat. Jelimet contoh diatas adalah
bukti bahwa jelimet memang nama lain tanah air kita tercinta sekarang, ya semua
keteraturan di negeri ini jelimet.
Jangan dulu mengerutkan
dahi dengan kesimpulan apa ini
hubungannya antara jelimet, hukum, dan peraturan? Justru itu banyak
kecacatan dan carut marut yang terkait dengan pembobolan hukum dan peraturan
disini. Cacat tersebut mebghasilkan sebuah formula : HUKUM? SOGOK PAKAI DUIT = PERATURAN TERHIMPIT, PERATURAN? DI
TEBAS SAJA! = ANARKISME. Anarkisme bisa dibilang menjadi buah manis dari
formula jelimet diatas.
Mengapa? Mari kita cek ke
lapangan, dan mengambil contoh dari Fasilitas-fasilitas yang disediakan negara.
Contoh yang lebih disorot kali ini adalah stasiun kereta api sebagai fasilitas
krusial negeri ini, trasportasi. Banyak orang yang lebih memilih kereta api,
apalagi kereta api jenis ekonomi. Karena harganya yang lebih bersahabat seperti
kawan lama dibandingkan tranportasi lainnya. Tapi mana ada sih disini yang bilang ekonomi mbak? Wah fasilitasnya enak banget,
tertib, nyaman, bersih, ah pokoknya ajaib deh.
Bisa jadi kata-kata itu
muncul, muncul melalui angan-angan kita. Wajah kita misut-misut dan mengerut
mengingat bagaimana perasaaan yang kita dapatkan saat melakukan perjalanan
memakai kereta ini. Banyak ego dan kenyamanan yang harus kita korbankan disana:
bau-bauan tidak sedap, sampah, apalagi jika kita kebelet harus mampu kita tahan
sampai nyawa terasa di ujung tanduk, bisa disebut paket lengkap.
Pernah terpikir kok bisa
ya? Kok bisa fasilitas yang begitu penting dan harusnya karena penting tadi
menjadi sorotan, malah hancur berantakan. Kemana kepedulian atasan-atasan di
negeri kita alias pemerintah. Pemerintah bisa melihat sebuah lahan baru dari
kereta ekonomi ini karena kereta ini paling banyak diminati. Apalagi jika
dilihat dari segi keuntungan saat tiba waktu pulang kampung. Ribuan manusia
yang antre karcis kereta seperti antre emas yang dibagikan cuma-cuma.
Melihat antusiasme
masyarakat terhadap kereta ekonomi ini membuat kita berpikir pasti mereka sudah
menganggapnya sebagai sahabat paling dekat. Mana mungkin menyakitinya apalagi
merusaknya? Namun di negeri jelimet ini apa sih yang tidak bisa terjadi (dalam
arti konotatif)? Yang terjadi justru sebaliknya, karena penumpang yang terlalu
membludak mereka tercecer kemana-mana, tidak peduli kereta akan overload
karena kelebihan penumpang. Hal ini
dapat menyebabkan kerusakan atau bahkan kecelakaan.
Menurut peraturan yang
tertera kan dilarang duduk di atas atap kereta api. Karena ya terima saja
akibatnya. Tapi kok ini ada yang dengan leluasa leyeh-leyeh disana, menikmati
pemandangan langit. Sebut saja manusia ajaib ini si X, siswa sebuah sekolah
menegah atas di kota besar yang setiap harinya selalu berangkat sekolah menggunakan kereta. Ia mengaku
sekolahnya cukup jauh bila ditempuh angkutan kota.
“Kenapa diatas? Ya enak
aja, saya kan bisa lihat langit yang cerah. Lagian sumpek di dalem.”
Bukan karena apa-apa
peraturan itu dibuat dan dicamkan dengan ketat, tapi karena akibatnya itu loh
FATAL. Nyawa bisa jadi tumbalnya nanti.
“Kenapa sih ga boleh? Lha
liat aja didalem mana bisa duduk? Udah sumpek bau lagi, ah mampus! Fasilitasnya
itu lho kacrut. Bikin ga betah. Ya kalo fasilitasnya baik kita juga yang
numpang bakal berlaku baik kok mbak buat minimalnya.” Komentarnya lagi
berapi-api dan terdengar sedikit masuk akal.
Lagi-lagi fasilitas.
Fasilitasnya memang kita akui sangat buruk dan belum memadai. Apakah hal ini
yang justru membuat perangai penumpang menjadi beringas? Atau jadi pemicu
keapatisan mereka terhadap peraturan dan ujung-ujungnya menimbulkan anarkisme
berkepanjangan sampai sekarang?
Kita ambil satu kejadian
di bulan mei tahun lalu. Petugas stasiun
berusaha menertibkan para penumpang atap di kereta api jurusan
Bogor-Kota nomor 58 yang tengah menaikan
penumpang. Tetapi di luar dugaan si penumpang atap yang tidak suka
ditertibkan malah melempari para petugas penertiban.
Menurut Mateta Rizalulhaq
HUMAS PT KAI, petugas sedang memasang cairan penyemprot untuk merubuhkan mental
para penumpang tangkringan atap yang jumlahnya puluhan ini agar kapok, tiba-tiba mereka merasa tidak
terima dan melakukan kasi pelemparan batu.
Akibatnya kaca-kaca kantor
PAP PT KAI dan Kantor bendahara di stasin Manggarai pecah. Masih untung tidak
menimbulkan korban jiwa.
Ngeri. Ternyata anarkisme
ini memang menjadi senjata mereka karena takut kehilangan tumpangan. Hal ini
diperjelas oleh fakta kurangnya unit atau gerbong keret api di Indonesia yang
memadai untuk mengangkut penumpang yang mebludak. Jika sudah begini siapa yang patut ditunjuk
atau dibebani kesalahan? Fasilitaskah? Dana fasilitas yang mengalir entah kemana
karena rasa tamak, tapi tidak ada hukum yang
bertindak karena sama-sama dibungkam dan dikenyangkan oleh uang? Atau si
anarkis-anarkis ini yang selalu menyelewengkan peraturan? Siapa?
Jelimet oh jelimet!
sumber gambar : www.google.com/www.valensprana.blogspot.com
No comments:
Post a Comment