Di
antara bayang-bayang hakiki, aku tidak mampu semua ini adalah mimpi ataukah
sebuah delusi. Kutembus kabut hampa yang menggenggam petang kelabu. Matahari
tenggelam kebalik keremangan atau hilang termakan kepincangan waktu. Udara
membisu dan terpancang dalam sunyi senyap, menekanku begitu berang. Pohon-pohon
cemara kerdil seperti terbawa keheningan yang memekakan, menari dan bergerak
begitu cepat hingga akhirnya luruh ke tanah menyisakan cairan pekat kehitaman.
Mereka kembali tegak dalam sekejap, kali ini menjulang. Di sanalah, dari balik
cemara yang meranggas kutemukan pandang matamu yang jernih, seperti dian yang
menyala. Aku mencoba menggapaimu, wajah yang terbakar pilu. Aku terjebak menuju
ketajaman rasa pedihmu yang membayang. Kupijak tanah yang goyah juga rentan,
menghambat pergerakanku, daun-daun gugur terhampar bergemerisik.
Aku
pun tidak yakin apakah itu kaubersama desah suaramu atau desau angin yang
mencoba menipuku. Wajahmu seperti mengambang ke permukaan, mengambang dari
tumpukan kenangan yang menyakitkan. Kabut berlari lalu pergi menjadi batas
pasti antara kita berdua. Kau terus bersembunyi kedalam memoar. Kucoba
mengurai tirai kabut pekat, mengejar
langkah-langkahmu. Kau tetap berlari memunggungiku meninggalkan pecahan-pecahan
dari hati yang remuk redam.
Kabut
terdiam kembali menyelimuti cemara dan pandanganku. Engkau kini di telan kala,
tak tertembus jemariku. Hilang menyisakan jelaga.
Biarkan aku hilang, ya hilang.
Matamu
yang sayu meraba dan merangkulku, meski engkau tidak pernah ada disana.
Kuteriakan
namamu, ya namamu! Hingga gema itu menyesakan, membunuhku perlahan.
sumber gambar: www.google.com
No comments:
Post a Comment