Pengarang: Yasunari Kawabata
Halaman: 180-181 (ada beberapa kata yang diambil dari hal 179 karena merupakan satu paragraf, dan kalau dipisah jadi tidak akan nyambung )
Penggelan novel:
Komako lari sekuatnya. Ia seperti meluncur dengan sandalnya diatas salju beku, dan kedua lengannya rapat ketubuh seperti sulit digerakan. Saat itu terlihat bahwa seluruh kekuatannya seolah hanya terpusat di dada. Rupanya kecil saja sosoknya, Shimamura tak pernah menyangka itu. Karena tubuhnya sendiri cukup gemuk dan ia berlari sambil menjaga Komako. Shimamura cepat terengah-engah. Komako juga cepat kehabisan nafas.
“Mataku berair,” katanya, “dingin sekali udaranya.”
Mata Shimamura juga basah. Pipinya hangat, dan hanya matanya yang dingin. Ia mengerjap, dan bima sakti memenuhi pandangan. Ia mencoba menahan agar air matanya tidak mengalir.
“Apakah Bima Sakti selalu seperti ini tiap malam?”
“Bima Sakti? Indah, bukan? Tapi tidak selalu begini tiap malam. Sekarang ini luar biasa cerah.”
Bima Sakti mengikuti ke arah mereka lari, dan tampak seperti mengguyur kepala Komako dengan cahayanya.
Kini tak jelas lagi bentuk hidungnya yang lancip, dan sudah hilang juga warna bibirnya yang mungilnya. Begitu remangkah cahaya langit? Shimamura nyaris tak memercayainya. Cahaya itu lebih remang dibandingkan malam bulan sabit, akan tetapi Bima Sakti lebih cemerlang ketimbang bulan purnama paling terang. Dalam samar cahaya yang tak menciptakan bayang-bayang di tanah, wajah Komako mngapung seperti topeng tua. Dan sungguh aneh bahwa topeng itu meruapkan wangi perempuan.
Shimamura mendongak, dan sekali lagi Bima Sakti turun memeluk bumi.
Dan Bima Sakti , sebuah aurora raksasa, mengaliri tubuhnya dan kemudian tegak di ujung dunia. Ada ketentraman di dalamnya, dan gigil kesepian, dan semacam ketakjuban yang menggairahkan.
“Jika kau pergi, aku akan menjalani hidupku baik-baik,” kata Komako sambil berjalan lagi. Ia menaruh tangannya pada rambut yang acak-acakan. Setelah lima atau enam langkah, ia memutar tubuh ke arah Shimamura. ”Ada apa? Kau tak harus berdiri di situ kan?”
Namun Shimamura berdiri saja memandanginya.
“Oh, jadi kau mau menunggu? Dan setelah ini bawalah aku kekamarmu.”
Ia mengangkat tangan kirinya sedikit kemudian lari. Sosoknya makin mengecil dan tampak seperti sedang ditelan gunung. Bima Sakti membentang dan dicabik oleh gunung berombak-ombak, dan muncul lagi dengan seluruh kecemerlangannya di tempat lebih tinggi di langit. Gunung-gunung tetap gelap di tempatnya.
Tubuh Komako lenyak dikelokan jalan. Shimamura melangkah mengikutinya.
Setelah dirubah: (Menjadi cerita fantasi)
Malam terbentang, dan ia berlari, berlari, berlari. Menembus kegelapan yang paling gelap tanpa gentar bersama sayapnya yang lebar. Lalu sayap itu perlahan tembus pandang hingga menghilang. Menyisakan bulu-bulu kehitaman yang terbang terbawa angin musim dingin. Suara langkah kakinya di atas salju yang sedikit membeku jernih, tak-tak-tak.
Tanpa menunggu, Shimamura mengerjar wanita bersayap itu, tidak takut terkalahkan meskipun tanpa sebuah sayap menopang tubuhnya. Shimamura telah lupa bagaimana rasanya sayap itu disana, menancap di punggungnya. Sudah terlalu lama.
Tubuh Komako yang kecil dan ramping membuatnya melesat dengan cepat. Mereka berlarian. Berlarian menembus pohon-pohon Sugi yang bernaung dalam lekatnya bayangan. Malam yang hitam, tidak membuat sedikitpun ketakutan diantara mereka. Rambut Komako yang tergerai menimbulkan sebuah getaran pada tubuh Shimamura. Tergerai mengikuti irama langkah kakinya.
Komako tertawa kecil, sebuah tawa yang cemerlang seperti sebuah sonata yang menjadi satu dengan gema malam. Mereka segera lelah setelah berlari, meniti langkah kaki tanpa pasti. Berlarian, berkejaran, bersama perasaan yang menggelora. Komako kehabisan nafas, ia menyandarkan tubuhnya pada lelaki itu.
“Mataku berair,” katanya, “ dingin sekali udaranya.”
Komako berbisik di telinganya, lembut dan syahdu. Shimamura juga mengerjap-ngerjap akibat matanya yang basah. Perlahan sayapnya kembali muncul, sayap Komako perlahan muncul, legam. Menyaingi kemelut langit musim dingin. Dan kerlingan mata Komako mengatakan sesuatu.
Kita pergi! Kita jelajahi cakrawala yang maha luas! Hanya kita berdua, ya hanya kita berdua!
Hanya disini, ditempat ini merekan dapat saling terbuka. Bebas dan lepas tanpa belenggu. Mereka kemudian menatap langit yang temaram. Dingin, udara mencekam. Shimamura mengerjap Bima Sakti memenuhi pandangannya. Ia hadir begitu saja. Kecantikannya membungkam segala perasaan. Bagi Shimamura hanya kecantikan Komako lah yang mampu menyaingi Bima Sakti.
“Apakah Bima Sakti selalu seperti ini tiap malam?”
“Bima Sakti? Indah, bukan? Tapi tidak selalu begini tiap malam. Sekarang ini luar biasa cerah.”
Jemari Komako yang lentik bergerak, berusaha menggenggam Bima Sakti dari kejauhan. Dan seolah berhasil mengambilnya, Komako menyentuh perlahan dada Shimamura. Menembuskan seberkas cahaya Bima Sakti yang mampu diambilnya.
Kalau begitu kita terbang dan pergi dari bumi malam ini, menuju Bima Sakti .
Ingin sekali rasanya Shimamura mengatakan hal itu. Tetapi apa yang mampu dikatakannya? Komako masih mempunyai sepasang sayap yang mampu membawanya kemari, mencari Shimamura. Sedangkan Shimamura? Ia kini berubah menjadi manusia biasa tanpa daya. Terasing di sebuah desa kecil diatas pegunungan yang tertutup salju, menanti dalam sepi. Ia kesepian, kehilangan kekuatan nya sebagai penjaga Pandora juga sayapnya membuat Shimamura terpuruk. Ia kini benar-benar berbeda dari Komako wanita bersayap hitam yang dicintainya. Shimamura perlahan digerogoti ketakutan.
Mereka berlari lagi tak perduli akan lelah, hanya agar udara yang memompa di aliran darahnya membuat tubuh mereka menjadi hangat.
Komako, aku mencintaimu! Komako, Komako, Komako.
Shimamura menggemakan perasaanya yang bergemuruh terhadap wanita itu, meski hanya di dalam ruang –ruang hatinya. Wanita yang seharusnya tidak bisa ia cintai. Karena semenjak pertama kal mereka bertemu di padang davodille perbatasan antara Tartaros dan Nysa. Dunia bawah tanah dan dunia langit-atau kahyangan. Dahulu sebelum sayap itu hilang, Shimamura selalu mengemban tugas paling berat di Nysa, sebagai penjaga kotak Pandora. Sedangkan Komako? Ia adalah seorang Wanita salah satu dari para penjaga Dunia Tartaros yang terbagi-bagi kedalam beberapa bagian lainnya. Tempat untuk para roh mendapatkan ganjaran semasa hidup mereka.
Tetapi Shimamura tahu ada yang berbeda pada Komako. Shimamura diam-diam mencintainya. Lalu semenjak getar itu berubah menjadi gemetar yang terpancar dari gerak bibr Koamako, Shimura mengetahui bahwa wanita itu juga mencintainya. Dan mereka pun jatuh cinta, tetapi rupanay semua itu menyalahi takdir.
Bima Sakti, masih luas membentangkan tangannya di hamparan langit hitam. Dalam samar cahaya yang tak menciptakan bayang-bayang ditanah, wajah Komako mengapung seperti topeng tua. Sungguh aneh bahwa topeng itu meraupkan wangi perempuan.
Komako terlalu mencintaimu, sehinnga ia rela berada disini. Di dunia yang sepi!
Komako!
Komako! Komako!
Komako berlari terus menuju sisi lain bukit ini yang menghubungkan jalanan menurun dengan penginapan. Penginapan tempatnya bermukim. Tempat ia menyamar dan bersandiwara sebagai seorang penduduk sekitar, hanya untuk menemani Shimamura.
“Jika kau pergi, aku akan menjalani hidupku baik-baik,”
Apakah kata-kata itu nyata?
Yang nyata, perkataan itu menyambar mereka berdua, seperti lecut yang menyakitkan. Shimamura sadar kata-kata itu meluncur dari bibirnya yang penuh lebam-lebam putus asa.
Tetapi Komako hanya tertawa, melepas ketegangan itu. Ia tahu Shimamura hanya terluka oleh keadaanya. Dalam tempo yang cepat Komako memutar tubuhnya kearah Shimamura.
“Ada apa? Kau tak harus berdiri di situ kan?
Shimamura hanya terpaku, merasa bersalah dan heran dengan ketenangannya.
Lalu Komako berlari lagi, mengangkat salah satu ujung gaunnya yang bertelanjang bahu di malam setajam es ini. Ia berlari secepat ia bisa kearah penginapan. Segera sosoknya yang kecil hilang ditelan bayang-bayang pegunungan. Shiamura berusah amengejar kepergian wanita itu yang secepat kilat.
Shimamura kemudian sejenak dapat melupakan kesedihannya. Baginya hanya ada ia dan Komako kini. Sepasang manusia, bukan sepasang mahluk bersayap yang diciptakan berbeda. Untuk kali ini ia merasa cukup. Cukup.
***
No comments:
Post a Comment