Sunday, March 4, 2012

Menghadapi Sebuah Fenomena yang Miris



            Sebuah realitas memang sulit diterima. Apabila realitas ini menjadi sebuah kepahitan yang menimbulkan pergulatan, baik batin maupun fisik. Realitas berubah menjadi sebuah masalah. Yang mampu membuat sebuah negara maupun rakyatnya kelimpungan karena lelah berenang dalam keringatnya sendiri. Dalam menghadapi transformasi realitas ini. Realitas kebobrokan tingkat pendidikan yang berkualitas. Salah satunya yang menjadi sorot perhatian. Menjadi titik tumpu kekhawatiran para warga yang masih peka, yang masih peduli, dan tentunya sangat menyadari. Ada sesuatu hal yang tidak signifikan di negerinya sendiri. Sesuatu yang sangat  salah.
            Justru sesuatu hal yang tidak signifikan ini merupakan sebuah fenomena miris yang terselubung. Jelas, fenomena ini sedang giat berputar-putar secara gamblang di atas kepala kita, sebagai mangsanya. Sang fenomena ini merayap perlahan, dan sukses menelusup di antara ratusan desah resah orang tua, khususnya mereka, atau bisa saja warga-warga peka yang lainnya. Menimbulkan gerutuan bertubi-tubi dari bentuk protes para orang tua, tentang bagaimana mereka mempertanyakan kualitas ilmu dan wawasan anak mereka. Jika bahkan acara televisi saja belum mampu mendorong stamina belajar anak-anak mereka agar lebih terpompa.
            Seperti pada contohnya, hal yang mereka lihat sehari-hari, contoh yang terkecil : sebuah acara televisi. Ya, sebuah acara tv yang bisa ditonton secara cuma-cuma oleh semua kalangan bahkan para pelajar. Moral bangsa dirasa semakin merosot, dengan adanya segelintir stasiun televisi yang hanya mementingkan keuntungan, dan bukan peningkatan pendidikan yang intens untuk bangsanya sendiri.
            Mungkin motivasi di balik semua ini,    yang memang membuat 'penyakit' tersebut semakin menggumpal seperti darah kotor, telah menjadi rahasia umum. Membuat telinga kita benar-benar gatal. Ah, memang uang adalah tetek bengek dari sebuah keuntungan. Kita hanya bisa kembali ke dalam konteks ini dan pasrah. Siapa yang dapat menolaknya jika kita tahu, uang bagaikan ramuan pekat yang membuat otak siapapun terperangkap dalam kabut kotor. Menjadi sebuah pemicu bagai dinamit. Lalu  -dapat dilihat dari aspek semua pihak- bisa jadi terlalu menggiurkan bukan?. Bahkan ketergantungan, terhadap benda terkutuk ini dapat membuat kebengkakan pada satu sisi yang merugikan saja. Merugikan bangsa juga tingkat pendidikan yang sudah seharusnya menjadi prioritas. Kini entah di nomor berapakan oleh beberapa oknum sialan ini. Sengaja meraciknya menjadi dekadensi yang absurd.
            Acap kali permasalahan ini selalu mendatangkan keresahan, acap kali juga penyelesaiannya selalu terlupakan. Sangat disayangkan, terhadap prosedur bangsa kita menghadapinya. Seperti biasa, sampai saat ini belum ada yang berniat mengobati penyakit ini, atau berusaha menata dengan rapi kembali wajah perwujudan kualitas di ranah kelahirannya sendiri. Bagaimanapun selalu ada pepatah mengatakan: kotoran remeh seremeh apapun jika kita selalu menunda membersihkannya,  bakal menjadi kotoran bertumpuk  yang akan sulit hilang.
            Begitu pula dengan hal ini, meskipun masalah pemutaran sinetron yang cenderung tidak berkualitas adalah hal yang sudah dapat dimaklumi. Karena kita sudah melihatnya menjadi pemanis di beberapa station televisi setiap hari merupakan hal kecil. Namun kita tidak boleh memandangnya juga seperti debu yang pasti akan luput dari pandangan kita. Justru ini perlu ditekankan penanganannya,karena dari sekedar debu ia bisa bertumbuh jadi kerat. Akibat karat yang akan terus menjadi doktrine  yang absolut dalam pola berpikir para penontonnya. Kelihatannya sinetron ini menjadi konsumsi publik sehari-hari tanpa henti.
            Posisinya menjadi tontonan favorit inilah yang -mungkin- membuat para stasiun televisi tergoda menambah jam tayangnya. Tanpa menyediakan adanya jeda untuk rehat ke kehidupan realita. Para pecandunya kemudian dapat terbawa arus yang sengaja dibuat, sampai benar-benar menjadi terikat. Sinetron-sinetron ini terkesan menjadi sebuah astigmatisme. Mencoba menutupi dan menggeser berbagai kenyataan. Berusaha membuat sebuah ketergantungan yang akut dalam menanamkan cara berpikir kepada hal-hal yang lebih glamor, padahal dalam kenyataannya hidup yang kita jalani tidak seperti itu.
            Mungkin pembodohan massal ini terjadi karena kecacatan jalan cerita, yang terlihat terlalu terburu-buru. Demi mengejar penonton sebanyak-banyaknya  untuk keuntungan berlimpah semata. Eksistensinya menjadi candu pekat, terlalu memburu. Menjaring penontonnya ke dalam jaring pukat tanpa makna. Penayangannya yang tanpa henti menimbulkan pertanyaan sarkastis juga dugaan skeptis. Terlalu menyiratkan dengan jelas  bujuk rayu menuju pemikiran fana. Benar-benar dapat menimbulkan antipati dari kalangan-kalangan yang membangkang pada tayangan instan, terkesan antiklimaks dalam hal peningkatan pendidikan. Sungguh pemikiran oknum ini masih tergolong sangat konservatif!.
            Lalu sebagai hasilnya, akibat negatif penayangan ini menjadi bercabang-cabang. Kriminal bisa saja merupakan buah manis dari peneluran 'kreatifitas instan' ini. Kita amati dari kriminalitas pencurian yang terjadi atas hasil menonton sinetron dengan jalan cerita kebanyakan hanya memperlihatkan kehidupan orang borjuis saja. Tidak mencoba membuka mata terhadap kehidupan masyarakat Indonesia yang belum semuanya diatas rata-rata.
            Harta adalah segala-galanya, atau harta memang jalan tercepat untuk membuat kita memperoleh kebahagian. Kebanyakan kata mutiara diatas tadi menjadi satu aspek tunggal yang coba ditayangkan oleh jalan ceritanya. Yang pasti menjadi pacuan dan menghasilkan efek  anarkisme, matrealisme, memuai karena pola berkhayal tadi. Atau setidaknya di luar jangkauan genggaman tangan mereka. Memang kita dapat membeli barang mahal yang kita inginkan dengan uang. Namun,  tidakkah kita mengetahuinya juga , memperoleh uang bukan hasil menjentikan jari semata. Kita  mesti melalui berbagai upaya mahal agar setimpal.
            Maka, jika memang kebanyakan para pecandunya adalah kalangan di bawah rata-rata dan menengah ke bawah terjadilah pencurian yang pelakunya berasal dari golongan mereka sendiri. Miris, fenomena ini sungguhlah miris. Tapi bisakah kita hanya berdiam diri di bawah tekanan ironi ini?. Sedangkan, kita sendiri mengetahui fakta bahwa kita juga calon korbannya. Padahal kita sudah muak melihatnya. Setidaknya kita dapat menuntut mereka sekedar meluangkan waktu untuk memperbaiki jalan cerita yang bobrok. Karena memang setelah kita menontonnya, bahkan hingga seharian. Otak kita hanya akan menangkap semilir aroma hipokrit saja. Nihil, tak ada apa-apa. Apakah ada makna yang dapat kita tangkap?. Sungguh disana hanya ada keironian yang pada akhirnya akan tergores pada dinding pemikiran kita.
            Maka dari itu, penayangan sinetron-sinetron tanpa bobot nilai kehidupan, baik dalam wacana moral dan yang lebih utama lagi pendidikan harus selalu dipertimbangkan terlebih dahulu. Lebih baik para pelakunya bijaksana dalam mengatasi penayangan tanpa henti tersebut. Karena dapat membuat otak jenuh dan pikiran terkungkung pada hal sugestif yang condong merusak kualitas. Kita semua tidak ingin menjadi mangsa, hanya menunggu diam saat justru kehancuran sedang mencekam di ujung batas. Kita semua tidak ingin negeri ini bertumbuh menjadi negri ironi yang anarki, dan menjadi negeri kurang berpendidikan jika dipandang dunia. Kita singkirkan semua fenomena ini jauh kedalam lubang dalam yang tidak akan pernah menampakan dirinya lagi. Kita pasti bisa membangun pendidikan berkualitas itu sedikit demi sedikit, dimulai dari sini. Semoga.


No comments:

Post a Comment