Sebuah realitas memang sulit diterima. Apabila realitas
ini menjadi sebuah kepahitan yang menimbulkan pergulatan, baik batin maupun
fisik. Realitas berubah menjadi sebuah masalah. Yang mampu membuat sebuah
negara maupun rakyatnya kelimpungan karena lelah berenang dalam keringatnya
sendiri. Dalam menghadapi transformasi realitas ini. Realitas kebobrokan
tingkat pendidikan yang berkualitas. Salah satunya yang menjadi sorot
perhatian. Menjadi titik tumpu kekhawatiran para warga yang masih peka, yang
masih peduli, dan tentunya sangat menyadari. Ada sesuatu hal yang tidak
signifikan di negerinya sendiri. Sesuatu yang sangat salah.
Justru sesuatu hal yang tidak signifikan ini merupakan
sebuah fenomena miris yang terselubung. Jelas, fenomena ini sedang giat
berputar-putar secara gamblang di atas kepala kita, sebagai mangsanya. Sang
fenomena ini merayap perlahan, dan sukses menelusup di antara ratusan desah
resah orang tua, khususnya mereka, atau bisa saja warga-warga peka yang
lainnya. Menimbulkan gerutuan bertubi-tubi dari bentuk protes para orang tua,
tentang bagaimana mereka mempertanyakan kualitas ilmu dan wawasan anak mereka. Jika
bahkan acara televisi saja belum mampu mendorong stamina belajar anak-anak
mereka agar lebih terpompa.
Seperti pada contohnya, hal yang mereka lihat
sehari-hari, contoh yang terkecil : sebuah acara televisi. Ya, sebuah acara tv
yang bisa ditonton secara cuma-cuma oleh semua kalangan bahkan para pelajar. Moral
bangsa dirasa semakin merosot, dengan adanya segelintir stasiun televisi yang
hanya mementingkan keuntungan, dan bukan peningkatan pendidikan yang intens
untuk bangsanya sendiri.
Mungkin motivasi di balik semua ini, yang memang membuat 'penyakit' tersebut
semakin menggumpal seperti darah kotor, telah menjadi rahasia umum. Membuat
telinga kita benar-benar gatal. Ah, memang uang adalah tetek bengek dari sebuah
keuntungan. Kita hanya bisa kembali ke dalam konteks ini dan pasrah. Siapa yang
dapat menolaknya jika kita tahu, uang bagaikan ramuan pekat yang membuat otak
siapapun terperangkap dalam kabut kotor. Menjadi sebuah pemicu bagai dinamit. Lalu
-dapat dilihat dari aspek semua pihak-
bisa jadi terlalu menggiurkan bukan?. Bahkan ketergantungan, terhadap benda terkutuk ini dapat membuat kebengkakan
pada satu sisi yang merugikan saja. Merugikan bangsa juga tingkat pendidikan
yang sudah seharusnya menjadi prioritas. Kini entah di nomor berapakan oleh
beberapa oknum sialan ini. Sengaja meraciknya menjadi dekadensi yang absurd.
Acap
kali permasalahan ini selalu mendatangkan keresahan, acap kali juga
penyelesaiannya selalu terlupakan. Sangat disayangkan, terhadap prosedur bangsa
kita menghadapinya. Seperti biasa, sampai saat ini belum ada yang berniat
mengobati penyakit ini, atau berusaha menata dengan rapi kembali wajah
perwujudan kualitas di ranah kelahirannya sendiri. Bagaimanapun selalu ada
pepatah mengatakan: kotoran remeh seremeh apapun jika kita selalu menunda
membersihkannya, bakal menjadi kotoran
bertumpuk yang akan sulit hilang.
Begitu
pula dengan hal ini, meskipun masalah pemutaran sinetron yang cenderung tidak
berkualitas adalah hal yang sudah dapat dimaklumi. Karena kita sudah melihatnya
menjadi pemanis di beberapa station televisi setiap hari merupakan hal kecil. Namun
kita tidak boleh memandangnya juga seperti debu yang pasti akan luput dari
pandangan kita. Justru ini perlu ditekankan penanganannya,karena dari sekedar
debu ia bisa bertumbuh jadi kerat. Akibat karat yang akan terus menjadi doktrine
yang absolut dalam pola berpikir para
penontonnya. Kelihatannya sinetron ini menjadi konsumsi publik sehari-hari
tanpa henti.
Posisinya
menjadi tontonan favorit inilah yang -mungkin- membuat para stasiun televisi
tergoda menambah jam tayangnya. Tanpa menyediakan adanya jeda untuk rehat ke
kehidupan realita. Para pecandunya kemudian dapat terbawa arus yang sengaja
dibuat, sampai benar-benar menjadi terikat. Sinetron-sinetron ini terkesan
menjadi sebuah astigmatisme. Mencoba menutupi dan menggeser berbagai kenyataan.
Berusaha membuat sebuah ketergantungan yang akut dalam menanamkan cara berpikir
kepada hal-hal yang lebih glamor, padahal dalam kenyataannya hidup yang kita
jalani tidak seperti itu.
Mungkin
pembodohan massal ini terjadi karena kecacatan jalan cerita, yang terlihat
terlalu terburu-buru. Demi mengejar penonton sebanyak-banyaknya untuk keuntungan berlimpah semata. Eksistensinya
menjadi candu pekat, terlalu memburu. Menjaring penontonnya ke dalam jaring
pukat tanpa makna. Penayangannya yang tanpa henti menimbulkan pertanyaan
sarkastis juga dugaan skeptis. Terlalu menyiratkan dengan jelas bujuk rayu menuju pemikiran fana. Benar-benar
dapat menimbulkan antipati dari kalangan-kalangan yang membangkang pada
tayangan instan, terkesan antiklimaks dalam hal peningkatan pendidikan. Sungguh
pemikiran oknum ini masih tergolong sangat konservatif!.
Lalu
sebagai hasilnya, akibat negatif penayangan ini menjadi bercabang-cabang.
Kriminal bisa saja merupakan buah manis dari peneluran 'kreatifitas instan'
ini. Kita amati dari kriminalitas pencurian yang terjadi atas hasil menonton
sinetron dengan jalan cerita kebanyakan hanya memperlihatkan kehidupan orang
borjuis saja. Tidak mencoba membuka mata terhadap kehidupan masyarakat
Indonesia yang belum semuanya diatas rata-rata.
Harta
adalah segala-galanya, atau harta memang jalan tercepat untuk membuat kita memperoleh
kebahagian. Kebanyakan kata mutiara diatas tadi menjadi satu aspek tunggal yang
coba ditayangkan oleh jalan ceritanya. Yang pasti menjadi pacuan dan
menghasilkan efek anarkisme, matrealisme,
memuai karena pola berkhayal tadi. Atau setidaknya di luar jangkauan genggaman
tangan mereka. Memang kita dapat membeli barang mahal yang kita inginkan dengan
uang. Namun, tidakkah kita mengetahuinya
juga , memperoleh uang bukan hasil menjentikan jari semata. Kita mesti melalui berbagai upaya mahal agar
setimpal.
Maka,
jika memang kebanyakan para pecandunya adalah kalangan di bawah rata-rata dan
menengah ke bawah terjadilah pencurian yang pelakunya berasal dari golongan
mereka sendiri. Miris, fenomena ini sungguhlah miris. Tapi bisakah kita hanya
berdiam diri di bawah tekanan ironi ini?. Sedangkan, kita sendiri mengetahui
fakta bahwa kita juga calon korbannya. Padahal kita sudah muak melihatnya. Setidaknya
kita dapat menuntut mereka sekedar meluangkan waktu untuk memperbaiki jalan
cerita yang bobrok. Karena memang setelah kita menontonnya, bahkan hingga
seharian. Otak kita hanya akan menangkap semilir aroma hipokrit saja. Nihil,
tak ada apa-apa. Apakah ada makna yang dapat kita tangkap?. Sungguh disana
hanya ada keironian yang pada akhirnya akan tergores pada dinding pemikiran
kita.
Maka dari itu, penayangan
sinetron-sinetron tanpa bobot nilai kehidupan, baik dalam wacana moral dan yang
lebih utama lagi pendidikan harus selalu dipertimbangkan terlebih dahulu. Lebih
baik para pelakunya bijaksana dalam mengatasi penayangan tanpa henti tersebut.
Karena dapat membuat otak jenuh dan pikiran terkungkung pada hal sugestif yang
condong merusak kualitas. Kita semua tidak ingin menjadi mangsa, hanya menunggu
diam saat justru kehancuran sedang mencekam di ujung batas. Kita semua tidak
ingin negeri ini bertumbuh menjadi negri ironi yang anarki, dan menjadi negeri
kurang berpendidikan jika dipandang dunia. Kita singkirkan semua fenomena ini
jauh kedalam lubang dalam yang tidak akan pernah menampakan dirinya lagi. Kita
pasti bisa membangun pendidikan berkualitas itu sedikit demi sedikit, dimulai
dari sini. Semoga.
No comments:
Post a Comment