Gonna look back in vain
And see you standing there
When all that remains
Is an empty chair
Lagu itu mengarungi udara pada sore yang hujan. Lewat
bulir-bulir kaca jendela. Meneteskan sebuah air mata pada wajahku yang membeku
karena dinginnya udara.
Sebuah kursi yang usang juga berdebu, di sudut ruangan. Is an empty chair. Kursi dari kayu
sonokeling, kayu kesukaan ayah. Berwarna coklat lembut dan liat. Anehnya kini
dapat kulihat kursi itu kosong, tanpa ada bayangan yang senatiasa ada
bersamanya. Yang bergerak bersama semesta ayah yang kecil: kursi itu, buku-buku
bacaan, ayah, dan segelas kopi mocca arabica. Kenangan yang semakin pudar oleh
perputaran hidup yang semakin deras. Ada memori yang selalu menulusup ketika
aku memerhatikan dengan perlahan singgasana ayah saat ia masih hidup. Memori
yang menghantarkanku kepada masa kecil dulu di atas pangkuannya. Kulihat kami
bercanda ria di atas kursi itu. Tawanya menggema di pikiranku. Berusaha
kukumpulkan ingatan yang telah lama berceceran itu, tawanya, sentuhan tangannya
yang hangat di kepalaku, bahkan pelukannya ketika aku berulang tahun yang ke
20. Vain, tapi sia-sia saja, karena
aku telah paham bahwa ayah telah benar-benar tiada dari sisiku.
Kini, tepat 10 tahun peringatan kematian ayah.
(lirik Bellefire; i cant cry hard enough.)
No comments:
Post a Comment